Ilustrasi oleh phoenixsierra0 via Pixabay |
Saat kita mengunjungi sebuah tempat baru
yang bagus pasti timbul niat untuk mengabadikannya. Salah satu caranya dengan
memotret, baik swafoto maupun bersama kawan. Ritual tersebut sebagai penanda
bahwa kita pernah berada di sana. Begitu pun ketika mencicipi sebuah makanan
yang unik lagi lezat, momen ini tidak bisa hanya dinikmati oleh lidah saja.
Lantas, setelah memotret perlu ada ruang
penyimpanan untuk mengoleksi pengalaman tersebut. Untuk itulah media sosial
hadir. Tak cuma disimpan, tetapi khalayak digital pun dapat melihatnya. Mereka bisa
berinteraksi juga dengan memberi tombol ‘suka’ dan menuliskan komentar di
unggahan tersebut.
Unggahan Itulah yang kemudian bernama
jejak digital. Sebuah rekam siber mengenai aktivitas warganet di ruang virtual,
mulai dari tempat yang pernah dikunjungi, makanan apa saja yang pernah
dicicipi, pandangan politik, hingga urusan agama dapat diketahui dari jejak
digitalnya.
Jejak-jejak yang ditinggalkan itu abadi
karena masuk ke dalam ingatan kolektif setiap khalayak digital yang melihatnya.
Pemilik akun memang dapat menghapus suatu unggahan, tetapi kita tidak pernah
tahu siapa saja yang telah mengunduhnya dalam bentuk tangkapan layar misalnya.
Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian dalam
menulis atau mengunggah sesuatu di media sosial. Rekam digital yang buruk kerap
digali untuk menjatuhkan nama baik kita di kemudian hari. Sering kali para
pesohor atau pejabat yang menjadi sasarannya. Misal, pada kasus seorang musisi
yang diangkat kembali cuitannya kala ia masih berusia 14 tahun yang viral justru
ketika ia telah terkenal.
Begitu pula dengan para pejabat kita. Sudah
terlalu banyak contohnya seorang politisi A mengkritik B karena dekat dengan C,
lalu dikemudian hari mereka berafiliasi untuk mengalahkan C. Inkonsistensi dalam
politik memang sering terjadi, namun bila melihat jejak digitalnya, kita
mungkin akan tertawa sendiri.
Jangankan jejak digital para pejabat,
ketika kita melihat rekam media sosial sendiri di masa lalu pun mungkin akan
tertawa geli. Betapa alay tulisan dan unggahan kita dulu yang baru kita sadari
kini. Tetapi itu memberikan kesan bahwa kita memang pernah ikut-ikutan keren
pada zamannya.
Jejak Digital, Manifestasi Masa Depan
Siapa sangka kehancuran diri kita di masa
depan bisa dibentuk oleh media sosial? Di era keberlimpahan informasi ini,
segala komentar maupun unggahan kita di media sosial menjadi acuan dalam
melihat arah pandang seseorang. Tentu media sosial mudah untuk dikonstruksi,
maka buatlah citra positif pada media sosial kita.
Semena-mena dalam mengomentari sesuatu
dapat menjadi bom waktu yang akan menghancurkan diri kita di masa depan. Mungkin
kini kita memiliki jumlah pengikut sedikit dan bukan seorang yang berpengaruh
secara sosial, tetapi kita tidak pernah tahu nasib di masa depan bukan? Bisa saja
lingkaran pengikut kita kini telah menyimpan jejak digital kita untuk digunakan
sebagai serangan di masa depan.
Bijak dalam bermedia sosial merupakan
langkah yang tepat untuk menyelamatkan kehidupan kita di masa yang akan datang.
Beberapa tips yang mungkin dapat kita lakukan sekarang, demi menghindari bom
waktu di masa depan yang dikutip dari Badan Siber dan Sandi Negara.
Unggah hal positif
Tahan jari jemari kita untuk mengunggah
atau berkomentar nyinyir yang berujung ujaran kebencian di media sosial. Bedakan
kritik
dengan ujaran kebencian, jika kritik berdasarkan fakta, maka ujaran
kebencian berlandaskan hati kita yang tidak suka pribadi seseorang.
Jangan pula bangga ketika mengunggah kenakalan
kita di media sosial. Selain dapat berujung pidana, kita pun harus menerima
kecaman dari warganet apabila kenalakan tersebut viral. Ingatlah bahwa komentar
warganet itu lebih pedas daripada lidah ibu tiri, namun mereka bisa dipadamkan
dengan jurus ampuh, klarifikasi.
Mari bentuk citra media sosial kita ke
arah yang lebih positif. Jejak digital pun kadang kala menjadi bahan
pertimbangan perusahaan dalam merekrut kita. Dengan citra yang baik pun tentunya
kita akan merasa tenang dikemudian hari jika suatu saat menjadi pesohor ataupun
pejabat.
Tidak mengumbar data pribadi yang sensitif
Berbicara mengenai data
pribadi, saat ini memang rentan sekali keberadaannya di internet. Pemegang data
pribadi kita, misal pemilik media sosial, tempat belanja daring, bahkan
baru-baru ini data dari pegawai
pemerintahan bocor di forum internet.
Kita mesti bijak dalam menitipkan
informasi pribadi apalagi yang sensitif sepeti nomer telepon, alamat rumah, dan
Nomor Induk Kependudukan kepada suatu instansi. Jangan terlalu mudah untuk
memberikan data-data tersebut terlebih untuk situs yang tidak dikenal. Harta yang
paling berharga saat ini ialah data pribadi.
Selalu ingat, informasi di ruang siber bersifat permanen
Berpikirlah sebelum mengunggah, karena
apapun yang telah berada di ruang siber dapat diduplikasi dan disebarluaskan
oleh orang lain. Menghapusnya saja belum tentu bisa benar-benar melenyapkan jejak
digital. Pahami bahwa menghapus jejak digital lebih sukar dibandingkan
mengahapus jejak bersama mantan.
Tulisan ini telah dimuat di qureta.com
Komentar
Posting Komentar