Hari minggu kemarin,
tanggal 13 September 2015 aku dan ketiga temanku pergi menuju curug Cideng-deng
yang berada di kecamatan Rumpin, Bogor. Dengan bermodalkan nekat dan sisa-sisa
ingatan dari temanku yang pernah kesana, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat
tepat pukul 06.30 setelah malam sebelumnya kami membeli dan menyiapkan perbekalan
untuk memasak disana.
Kami berangkat dari rumah
temanku di Jurangmangu, Tangsel. Tepat pukul 06.30 kami menyalakan mesin motor.
Sepanjang jalan ramai sekali kerumunan orang yang sedang lari pagi, jadi tidak
menimbulkan macet yang berarti.
Perjalanan kami baru ‘terasa’ ketika sudah melewati parung. Jalanan yang
tidak rata serta tracknya yang naik-turun. Sangat berbeda sekali dengan
perkotaan, dimana jalanannya sangat mulus sekali. Nampaknya pemerintah harus
lebih memperhatikan lagi pembangunan untuk daerah pedesaan. Tapi, semuanya
terbayar ketika kami sudah masuk di kecamatan Ciseeng. Pemandangan hijau
terhampar sejauh mata memandang. Tanjakan serta turunan curam banyak ditemukan
disini, seperti mementuk huruf ‘V’.
Setelah tanya sana-sini
dan sempat beberapa kali istirahat, pukul 08.30 akhirnya kami tiba di sebuah
saung tempat terakhir untuk motor-motor kami. Dan kami juga ngaso sebentar
untuk memulihkan sedikit energi kami, karena track yang akan ditempuh
nanti lumayan jauh.
Track yang
kami lalui sebenarnya tidak terlalu berat, hanya saja cukup jauh dan rata-rata
menurun. Dan samar-samar kami sudah mendengar bunyi gemericik air di kejauhan. Spontan
saja kupercepat langkahku dan diikuti oleh kawan-kawanku dibelakang.
Terbayar sudah pegal-pegal
dan debu disepanjang jalan tadi. Curug yang dikelilingi bebatuan di atasnya
membuat aku dan temanku berdecak kagum. Terpana akan ciptaan Yang Maha Kuasa. Tidak
perlu menunggu lama segera saja kuabadikan momen yang indah ini dengan
ponselku.
Setelah kami tiba,
rombongan lain pun mulai berdatangan. Dan seorang sesepuh disana memperingati
kami “sepuluh menit lagi ya, baru dibuka soalnya,” entahlah kami tidak mengerti
maksudnya, tapi kami mencoba untuk menghormati adat disana.
Sepuluh menit berlalu dan “brr..
dingin.” Peluh dibadanku serasa sirna sudah, terganti dengan dinginnya air di
curug Cideng-deng ini. Air terjun mengalir sangat deras. Tapi, aku tidak berani
menghampirinya karena semakin kesana semakin dalam permukaannya. Aku yang tidak
terlalu bisa berenang mengurungkan niat untuk mandi dibawah air terjun.
Puas main air sudah pasti
perutku keroncongan. Segera saja kami merebus air untuk memasak mie di kompor
kecil yang memang sudah kami siapkan sebelumnya. Lucunya tidak ada yang berani
menyalakan kompornya. Karena pemantik di kompor ini rusak dan juga pengatur
keluarnya gas sudah agak seret. Setelah beberapa kali maju mundur karena
ngeri, akhirnya kompor menyala juga dengan hentakan api yang cukup besar. Hufft,
menegangkan.
Kenyang makan aku
melanjutkan berenang kembali hingga jam menunjukan pukul 13.00. Kami memutuskan
untuk pulang karena sudah puas main air, foto-foto, bakar-bakaran selain itu
kera-kera sudah mulai menunjukkan eksistensinya di atas tebing. Sebagai pecinta
alam yang baik dan budiman, tak lupa sebelum pulang kami memungut sampah-sampah
yang berserakan kedalam kantong plastik, agar tempat ini selalu asri dan tidak
tercemar.
Sudah bisa ditebak jika
perjalanan awal kami banyak melewati turunan, pulangnya aku harus
berlelah-lelah menanjak. Untungnya perbekalanku sudah habis, sehingga barang bawaan
tidak terlalu berat.
Sampai di saung kembali,
kami tidur-tiduran sebentar dan mengisi perut sebelum akhirnya kami pamitan
untuk pulang. Pukul 14.30 aku meninggalkan Rumpin. Kecamatan paling ujung di
kabupaten bogor ini. Dan tepat pukul 17.00 kami sampai kembali di Jurangmangu
dengan selamat, tanpa kekurangan apapun.
Tangerang selatan,
Surya handika
rakhmat.
Dokumentasi pribadi:
Curug Cideng-deng |
Narsis di saung |
Baru sampai langsung foto-foto |
Santap siang |
Komentar
Posting Komentar