Ilustrasi oleh Pixabay |
Akhir-akhir ini kegiatan bersepeda mulai menjadi tren, baik di kalangan muda, bapak-bapak facebook, sampai ibu-ibu komplek. Begitupun dengan niatnya, ada yang bersepeda dengan hajat menurunkan berat badan, alasan menjaga kondisi tubuh, pergi bekerja, hingga untuk kebutuhan konten. Setidaknya sih, pasti ada saja warganet yang unggah swafoto bersama sepedanya di linimasa.
Tren tersebut disinyalir berasal dari
kejenuhan yang melanda masyarakat kala pembatasan fisik akibat pandemi.
Bagaimana tidak, berbulan-bulan sejak virus Corona terdeteksi di Indonesia
–padahal ada yang klaim bahwa orang
Indonesia kebal Covid-19, eh nyatanya sekarang sudah tembus 4.000 kasus,
warga +62 mendekam saja di rumah.
Kalau pun terpaksa keluar, itu karena
kebutuhan mendesak dan mesti menerapkan protokol kesehatan yang di antaranya
jaga jarak fisik. Oleh karena itu, moda transportasi yang direkomendasikan
badan kesehatan dunia ialah sepeda. Selain itu, sepeda juga kerap digunakan
sebagai olahraga alternatif pengganti tempat kebugaran yang telah ditutup.
Gaya hidup baru tersebut pun tampaknya
sampai ke Indonesia. Geliat pesepeda mulai muncul kembali dengan ditandai
bengkel sepeda yang kebanjiran pesanan, baik untuk pembelian maupun perbaikan. Begitu
pula di jagat maya, bertebaran tagar yang berkaitan dengan sepeda. Tidak butuh
waktu lama, deklarasi tren sepeda pun dimulai.
Jalanan ibu kota mulai dipadati sepeda,
apalagi saat akhir pekan. Meski Pemprov DKI meliburkan car free day (Hari
Bebas Kendaraan Bermotor), masyarakat tetap memadati jalur
Sudirman-Monas. Jalur tersebut menjadi favorit karena lebar dan telah tersedia
jalur khusus sepeda, apalagi saat akhir pekan di mana jalur sepeda mendapat
porsi setengah badan jalan dengan dibatasi jejeran cone.
Tren Sepeda, Positif Atau Negatif?
Dalam menanggapi sebuah tren pasti tidak
terlepas dari pro dan kontra, baik dari pengguna, pemerhati, pembuat kebijakan
maupun warganet.
Dampak positif dari menjamurnya pesepeda
adalah masyarakat mulai memerhatikan pola hidup sehat. Daripada rebahan saja di
rumah, kini lebih asyik bersepeda. Bersepeda memang dikenal sebagai cara yang
ampuh untuk membakar kalori. Akan tetapi, perlu dijaga asupannya agar tidak
defisit dengan pembakaran kalori. Jangan sampai besar pasak daripada tiang.
Bersepeda yang efektif pun tidak boleh
asal. Misalnya dari pengaturan tinggi-rendah sadel, posisi kaki di pedal, dan
perhatikan juga irama jantung. Jangan sampai karena salah pengaturan, malah
menimbulkan cedera. Bukannya sehat malah harus rehat.
Apalagi di masa pandemi ini juga
disarankan untuk memakai masker selama bersepeda. Oleh karena itu, perlu diketahui
batas kemampuan masing-masing. Jangan sampai olahraga melampaui batas.
Pemakaian masker selama bersepeda akan mengurangi jumlah oksigen yang masuk, maka
disarankan untuk yang jarang olahraga agar tidak memaksakan diri.
Ingat, perlu proses latihan yang
konsisten untuk mendapatkan kecepatan dan irama yang pas dalam bersepeda.
Jangan sampai niat mencari sehat, malah malang didapat.
Menjamurnya pengguna sepeda juga diiringi
dengan larisnya toko sepeda, baik toko di pinggir jalan maupun secara daring.
Tak ayal kini stok sepeda kian menipis. Kalau pun ada pasti harganya di atas
rata-rata.
Meskipun pabrik sepeda lokal terus
menggenjot produksi, tetap saja tidak mampu melayani permintaan yang sedang
tinggi ini. Apalagi di tengah kondisi pandemi membuat jalur pengiriman dan
produksi spare part dari luar negeri jadi terhambat.
Alhasil di media sosial tidak sedikit
warganet yang mengeluhkan kelangkaan tersebut di akun resmi pabrik sepeda
lokal. Untuk mendapatkan harga resmi, bahkan mereka ada yang menunggu hingga
berbulan-bulan dengan sistem inden.
Salah satu cara cepat mendapatkan sepeda
yaitu mencari barang bekas. Tetapi, harus cermat dalam memilihnya dan biasanya
harga yang dipasang sama dengan harga sepeda baru atau malah lebih mahal. Kesempatan
dalam kesempitan memang.
Kini berbicara dampak negatif. Sering kujumpai
keluhan warganet di linimasa terkait kelakuan ‘pesepeda musiman’ yang bikin
dahi berkerut. Seperti bersepeda beriringan tetapi sampai ke tengah jalan,
melajukan sepedanya ugal-ugalan, berbelok secara tiba-tiba, bahkan sampai ada
yang masuk tol, lawan arah pula. Mereka memang perlu diedukasi tentang
keselamatan berkendara, terutama menggunakan sepeda.
Menurutku sih bukan trennya yang salah,
tetapi memang perilaku berkendara mereka yang sudah buruk, bahkan sebelum
memakai sepeda. Tidak sedikit bukan pengguna motor atau mobil yang perilakunya
buruk? Nah, di kala tren sepeda seperti saat ini mereka yang kurang literasi
berkendaranya memperburuk situasi.
Alhasil, pengguna jalan yang lain
menggeneralisir pesepeda dan membuat cuitan-cuitan miring di media sosial.
Pesepeda terkena stigma buruk karena kelakuan segelintir orang yang kurang edukasi
dalam berkendara.
Apakah Tren Sepeda Bertahan Lama?
Sosialisasi tentang aturan dan
keselamatan bersepeda memang mulai digencarkan, baik oleh pemerintah,
komunitas, maupun para pegiat. Tetapi, semua itu butuh proses. Proyek jangka
panjang untuk membuat jalan raya lebih ramah sepeda.
Jikalau tren ini telah usai pun
diharapkan alam menyeleksi banyak pesepeda yang paham berkendara. Terlebih lagi,
kalau pesepeda yang hanya ikut-ikutan tren lebih banyak diharapkan dapat
menurunkan harga sepeda. Sehingga bisa upgrade sana-sini deh, hehe.
Berbicara soal harapan, sepertinya asyik
melihat Jakarta dalam kayuhan. Artinya mobilitas utama warga Jakarta ialah
sepeda. Pasti tidak ada lagi tuh ceritanya macet-macetan di jalan, atau
istilahnya ‘tua di jalan’. Kualitas udaranya pun pasti akan meningkat pesat,
seperti awal PSBB dulu. Semoga.
Pesanku: Ayo coba bersepeda. Rasakan nikmatnya
menikmati suasana jalan raya dan siraman sinar mentari. Jangan takut berkeringat.
Proses menuju sehat memanglah menyakitkan.
Komentar
Posting Komentar