Tanpa Disadari Bibit Koruptor Telah Kita Tanam

Ilustrasi oleh yohoprashant via Pixabay


“Bikinin tugas dong, nanti gua traktir makan deh…”


Korupsi menjadi masalah laten di negeri ini. Setiap hari berseliweran berita penangkapan dari lembaga antirasuah kesayangan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlihat jajaran pejabat, baik tingkat daerah maupun pusat, keluar masuk Gedung Merah Putih dengan memakai rompi oranye. Anehnya, mereka masih dapat tersenyum kepada awak media, bukannya tertunduk malu. Apakah korupsi merupakan suatu prestasi?


Bibit korupsi tanpa kita sadari sudah tertanam sejak dini, ketika masih mengenakan seragam putih merah. Paling mudah tentunya ialah mencontek. Siapa yang tidak pernah mencontek? Tentunya ada beragam pengembangan versi dari contek mencontek. Mulai dari mencontek seutuhnya, hanya diganti judul, mencontek ide utama, dan lain sebagainya. 


Namun, bukan itu yang menjadi pokok permasalahan, tetapi motifnya. Mencontek merupakan upaya untuk mempermudah pekerjaan dengan mengamati dan meniru hasil karya orang lain. Ia merupakan jalan pintas seseorang dalam mencapai tujuannya. Bisa dengan sepengetahuan yang dicontek maupun tidak. Baik dengan memberikan kredit ataupun tidak. Titik kesalahannya ialah rasa malas untuk melalui jalur yang seharusnya dengan mencari alternatif mudah sebagai penutup rasa malas.


Bibit inilah yang kuyakini induk dari segala jenis korupsi. Bila menjadi kebiasaan, tentu akan merembet ke mana-mana. Misalkan saja, meningkat menjadi suap. Di mana seseorang menyuap orang lain agar memuluskan apa yang harus menjadi tanggung jawabnya. Bisa berbentuk pemberian uang tunai, barang, jasa, dan sebagainya.


Di lingkaran keluarga pun mungkin saja secara tidak sadar kita tertanam budaya korupsi. Misalkan saja menilap duit ibu ketika diminta belanja. Bilang ke ibu belanja di warung sepuluh ribu padahal cuma delapan ribu, sisanya dibelikan yang lain.


Mungkin sebagian besar dari kita pernah melakukannya. Kecil memang nilainya, bisa seribu atau dua ribu rupiah, tetapi inilah cikal bakal korupsi jika dibiasakan.


Terkadang hal-hal tersebut memang sukar untuk dihindari. Bagaimana tidak, di lingkungan rumah pun terkadang perilaku tercela ini sudah terpatri. Lihat bagaimana Pak RT diberikan pelicin untuk mempercepat urusan administrasi. Pun sebaliknya, bagaimana oknum pejabat memeras warga agar pengurusan KTP bisa diselesaikan sesegera mungkin. Terasa sulit menghentikan kebiasaan tersebut. Apakah kita kekurangan pendidikan antikorupsi? 


Kata Jack Bologne Soal Korupsi


Jack Bologne dalam bukunya The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime yang disadur oleh BPKP 12 dalam bukunya Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional tahun 1999, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan meliputi Greeds (Keserakahan), Opportunities (Kesempatan), Needs (Kebutuhan) dan Exposures (Pengungkapan) sangat erat kaitannya dengan manusia melakukan kolusi dan korupsi.


Paling awal Bologne menyebut serakah. Serakah menurutku identik dengan perut, kenapa? Ia sama-sama tidak pernah puas. Sifat serakah pun identik dengan perut buncit bukan?


Potensi serakah muncul akibat sifat egois yang terlalu diagungkan, tanpa menyalahkan bisikan setan loh ya, nanti dia protes jadi kambing hitam melulu. Padahal teman kita pasti pernah mengatakan, “Jadi orang jangan serakah apa!”. 


“Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga ada kesempatan. Waspadalah!”


Ah, kalimat tersebut sangat terkenal sekali. Ialah Bang Napi yang mempopulerkannya. Kesempatan pun kerap muncul dalam permainan monopoli, tentu dibarengi dengan dana umum. Tidak, maksudku kesempatan apabila ada emasnya maka tidaklah boleh disia-siakan bukan? Kalimat itu pula yang mungkin jadi landasan para koruptor. Mereka tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Entah kesempatan itu hadir atas peraturan yang mereka buat sendiri atau tidak.


Poin selanjutnya adalah karena kebutuhan. Ada tiga jenis kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi kata guruku dulu, yaitu sandang, papan, dan pangan. Sandang merupakan elemen yang paling tidak harus melekat ditubuh kita. Paling tidak satu minggu punya tiga jenis deh, supaya bisa diganti-ganti. Tetapi kebutuhan ini sering dikurang-kurangi ukurannya dengan alasan modis, entahlah.


Manusia kalau lapar galak. Ingatkan dengan iklan suatu makanan ringan yang menunjukkan betapa galaknya manusia kalau lapar? Ketika kenyang jadi baik lagi deh. Itulah mengapa manusia butuh makan. Terakhir, tempat tinggal. Manusia perlu rumah untuk istirahat dan butuh pundak untuk curhat.


Selain tiga jenis kebutuhan primer itu, sebenarnya manusia hanya kadang suka merasa kurang. Sudah punya rumah satu, ingin punya rumah satu lagi di Pondok Indah. Baju di lemari sudah penuh, tetapi di pusat perbelanjaan ada baju yang sangat bagus. Sebenarnya kebutuhan mana yang kita penuhi?


Terakhir dari Bologne, ialah pengungkapan. Kutafsirkan sebagai pengungkapan ketika korupsi berhasil terungkap maka hukumnya bisa dimainkan. Sudah jadi rahasia umum sih apabila kamar tahanan para koruptor sarat dengan fasilitas mewah. 


Bahkan salah satu pembawa acara pernah lakukan sidak di kamar tahanan koruptor kelas kakap dan ditemukan fasilitas yang berbeda dengan penggambaran penjara yang selama ini ada di benak kita. Maka, tidaklah herankan korupsi tetap langgeng di tanah air.


Apa Yang Ditanam, Akan Dituai Kemudian


Sadar atau tidak nilai-nilai korupsi telah tertanam dalam alam bawah sadar kita. Bibit-bibit tersebut makin subur jika kita biasa melakukannya dan akan tumbuh kokoh seiring dengan kita menyepelekannya. Perlu kesadaran dari setiap individu untuk menghindari bentuk penyelewengan walau sekecil apapun.


Apabila kita kaitkan dengan kasus yang sedang ramai diperbincangkan, UU Cipta Kerja, maka kita bisa bercermin pada diri. Keegoisan dan ketamakan dapat membuat seseorang menghalalkan segala cara dan mengabaikan prosedur. 


Lihat bagaimana UU Ciptaker dibahas ketika masyarakat disibukkan dengan Covid-19? Proses pengesahan yang terkesan buru-buru padahal drafnya saja belum rapi. Mereka rela bekerja di kesunyian malam demi menyenangkan perut mereka sendiri. 


Meski belum terbukti, pasti ada alasan di balik mulusnya pengesahan UU yang dinilai sebagian ahli cacat formil dan materil. Entah siapa yang memuluskan, hanya Tuhan yang tahu. 


Kebenaran hanyalah milik penguasa, rakyat hanya bisa teriak pada sekelompok orang yang tertutup hatinya. Salam.


Tulisan ini telah terbit di qureta.com


Komentar