Ilustrasi oleh Mohamed Hassan |
Sejak diumumkan kasus 01 dan 02, bukan
nomor sakti itu loh ya, wabah covid-19 telah singgah di Indonesia kurang lebih
selama dua bulan. Virus yang diketahui berawal dari negeri bambu itu, telah
melintasi pulau-pulau di tanah air. Berbagai kelakar hingga kekhawatiran pernah
masyarakat rasakan. imbasnya pun bukan main. Mulai dari sosial, ekonomi,
kesehatan, hingga agama.
Sampai hilal terlihat, yang berarti
memasuki bulan Ramadan, belum ada tanda-tanda wabah ini akan berakhir. Memang,
pelbagai prediksi muncul kapan wabah akan berakhir, namun tidak dalam waktu
dekat. Ada yang mengatakan bulan Juni, Juli, bahkan akhir tahun.
Ramadan kali ini sudah pasti berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, malah mungkin yang pertama kali ku rasakan. Bulan
di mana seharusnya jalan raya ramai dengan riuh penyambutan, kini sunyi senyap.
Hampir semua tidak lagi turun ke jalan, tetapi meramaikan jaringan. Lalu lintas
internet kian ramai dipenuhi oleh berbagai agenda dalam rangka menghibur
masyarakat di rumah.
‘Lingkaran seratus tahun’ bolehlah ku
sematkan atas kondisi sekarang ini. Mulai dari abad ke-18 hingga kini dunia
selalu dilanda wabah berskala besar. Sebut saja wabah pes, kolera, flu spanyol,
dan kini covid-19. Semoga saja siklus tersebut berhenti pada abad ke-21 ini,
kasihan anak-cucuku nanti.
Lantas apa saja perbedaan dari Ramadan
kali ini yang ku rasakan?
Usai konferensi pers dari kementerian
agama untuk menentukan jatuhnya bulan Ramadan, biasanya umat muslim akan melaksanakan
tarawih. Pada hari pertama bulan suci itu sudah pasti masjid-masjid akan penuh
disesaki oleh jemaah yang senang akan kehadiran Ramadan. Jagat media sosial pun
ramai akan swafoto tentang tarawih pertama. Sudah galib jika antusiasme itu kian
menurun seiring mendekati lebaran.
Namun, jauh-jauh sebelumnya pemerintah
telah mengimbau untuk tidak melaksanakan tarawih di masjid. Otoritas mengimbau
untuk melaksanakannya di rumah saja, bahkan sampai salat id nanti. Yah,
gara-gara corona itulah kita kehilangan tradisi. Sebuah budaya di mana riuh
petasan menggelegar, keriaan anak-anak, dan kecepatan salat tarawih yang sempat
viral tempo lalu.
Kemudian budaya berburu takjil, hingga
tulisan ini terbit masih ada kok, belum punah. Tetapi, tidak seramai tahun
lalu. Di mana mendekati waktu berbuka jalan raya macetnya minta ampun. Kini,
karena banyak juga toko-toko yang memutuskan untuk tutup, jalanan menjadi agak
lengang. Mungkin sebagian warga ada yang telah pulang kampung lebih dulu,
sebelum imbauan dilarang mudik keluar.
Tradisi masyarakat Indonesia kala Ramadan
yang juga nihil adalah buka bersama. Sebuah momen untuk kita bersua menjalin
silaturahmi. Banyak dari kita yang memanfaatkan momentum bukber ini untuk
bertemu kembali di tengah kesibukan menjadi budak korporat. Jutaan wacana
bukber yang dulu meramaikan pelbagai grup WhatsApp kini tiada. Dulu hal
tersebut membuatku kesal, tapi kini ku rindukan.
Selain bukber dengan kawan-kawan, ada
satu tradisi yang hilang terutama untuk diriku. Yaitu berburu makanan cuma-cuma
dari masjid ke masjid. Dulu setiap akan berbuka, aku pasti bergegas ke masjid
yang biasanya menyediakan hidangan untuk buka puasa. Masjid-masjid tersebut
telah ku hapal karena tahun-tahun sebelumnya pun sering mampir ke sana. Aku bisa
saja menyebutkan masjid A biasanya menghidangkan ayam bakar atau masjid B
menyajikan kurma saja.
Di samping gratis, kebersamaan dengan
jemaah lain yang baru pulang selepas bekerja itu yang ku rindu. Padahal tahun
ini aku berniat untuk menghemat pengeluaran dengan melakukan tradisi ini
sepanjang Ramadan. Tetapi, mungkin Tuhan sudah mengetahui niat jahatku ini.
Dari sisi industri hiburan pun, banyak
yang telah berubah di kala pandemi ini. Sangat sedikit stasiun televisi yang
menemani kala sahur dengan suguhan langsung. Rata-rata hanya menayangkan ulang
program yang telah lalu. Kontras sekali dengan tahun lalu di mana semuanya
berlomba untuk mengontrak selebritis demi meramaikan sahur penontonnya, atau demi
rating.
Bersyukurlah masih ada para seniman yang
masih menemani penggemarnya dengan sajian daring. Berbagai konser dan acara daring
lainnya banyak diadakan. Tidak hanya mencari uang semata, sebagian ada yang
mendonasikan kegiatan tersebut untuk para petugas yang berada di garda
terdepan.
Entah cuma perasaanku saja atau memang
bulan Ramadan kali ini terasa lebih lemas dari sebelumnya. Boleh jadi rasa
lemas yang datang karena alasan-alasan yang ku rasakan di atas atau karena tidak
sahur semalam. Yah, aku hanya bisa yakin bahwa setelah terjadi badai pasti ada
pelangi yang sangat indah di ujung sana.