Komedi Di Atas Diskriminasi

Ilustrasi oleh Rob Slaven

Pada zaman yang serba digital ini, seseorang dapat dengan mudah membuat konten untuk dibagikan. Entah itu konten berkualitas, receh, gosip, sampai yang tidak penting dapat menjadi rupiah. Masyarakat Indonesia memang telanjur kreatif dalam urusan seperti ini.

Formula lainnya, buatlah konten yang mengundang gelak tawa, maka jumlah penontonnya bisa naik dengan cepat. Tidak peduli apakah objek candaannya terima atau tidak, yang penting viral dan mendapat jumlah penonton yang banyak.

Tayangan bergenre prank terbukti selalu laris dilihat oleh warganet di laman berbagi video. Aksi yang menyajikan kejahilan seseorang, baik dengan cara membuat kaget, mengelabuhi, sampai membuat orang celaka. Prank menjual berbagai ekspresi yang muncul dari objek yang dikerjai tersebut. Emosi dan ekspresi itulah yang mengundang tawa penonton.

Salah satunya yang dilakukan oleh naravlog inisial FP tempo lalu. Ia membuat konten yang mengerjai seseorang dengan cara membagikan sembako kepada para transpuan. Sekilas video tersebut terlihat mulia, apalagi di tengah kondisi pandemi seperti ini.

Namun, sesungguhnya amat nirakhlak perbuatannya. FP mengisi bantuan sembako tersebut dengan barang yang tidak semestinya, yaitu batu bata dan sampah. Bagi yang mendengarnya saja mungkin sudah kesal dalam hati, tidak tega untuk menontonnya.

Tidak butuh waktu lama, video tersebut viral dan menuai kecam dari warganet, bahkan sempat menjadi trending di media sosial Twitter. Sampai akhirnya video klarifikasi dan permintaan maafnya muncul dan tinggal menunggu siklus selanjutnya dari kejadian serupa, penangkapan. Itulah akibatnya jika manusia menghamba kepada adsense, gak ada akhlak.

Salah satu yang banyak disorot dari kejadian di atas ialah bagaimana tidak ada akhlaknya menjadikan konten atas nama bantuan di tengah krisis sekarang ini. Kedua, bagaimana transpuan kerap kali dijadikan bahan komedi yang lazim dalam dunia hiburan.

Pertama, menjadikan bantuan sebagai bahan lelucon itu tidak etis kawan. Wabah covid-19 ini telah membuat banyak orang ditimpa kesusahan. Gelombang buruh yang dirumahkan sudah membuat banyak orang mesti berhemat. Tentunya, bantuan amat diperlukan di kondisi seperti ini.

FP dengan teganya menjadikan bantuan tersebut sebagai konten yang menyedihkan. Kreatif boleh asal tidak kebablasan. Apakah FP mencontoh para pejabat di sana yang memanfaatkan wabah demi kepentingannya?

Lalu, menariknya transpuan kerap dianggap layak sebagai objek karena ketidaklaziman statusnya. Di Indonesia sendiri masih banyak sentimen negatif kepada transpuan. Mereka kerap dijadikan sasaran kebencian sehingga tidak keberadaannya tidak diterima masyarakat. Maka prasangka ‘layak dijadikan objek apapun’ muncul akibat transfobia itu.

Masih segar dalam ingatan bagaimana M, seorang transpuan yang dibakar hidup-hidup oleh sekelompok pria yang menuduhnya seorang pencuri. Kemudian, kasus LL yang ditangkap karena pemakaian narkoba dijadikan bahan olok-olokan oleh otoritas karena biasnya status gender dalam KTP-nya.

Komedi di Atas Diskriminasi

Dekade lalu, beberapa acara komedi yang menggunakan identitas gender ketiga tersebut sebagai guyonan andalannya. Pria kemayu dengan tangan melambai dan suara yang diperempuankan galib ditemukan dalam acara komedi. Dari komedian senior hingga anak kemarin sore dapat ditemukan pria yang seolah-olah bergaya perempuan.

Acara yang menampilkan transgender dinilai mengundang gelak tawa penonton dan mereka tampak asyik menikmati candaan seperti itu. Para pelakon transgender sering digunakan sebagai pendongkrak rating acara televisi. Untungnya, sejak 2016 KPI telah melarang gaya komedi tersebut. Tetapi, efek atas candaan-candaan diskriminatif tersebut masih terasa hingga kini.

Tidak adanya pendidikan yang mengenalkan bagaimana seharusnya transgender diperlakukan, membuat masyarakat mempelajarinya dari lingkungan. Sayangnya, kelompok transgender di mata masyarakat sering dipandang sebelah mata.

Label pekerja seks sering disematkan kepada mereka yang berada dipinggir jalan. Terkadang, lelaki yang lewat pun merasa ngeri akan kehadirannya. Stereotipe tersebut membuat masyarakat menilai transgender layak diperlakukan semena-mena.

Ditambah lagi, belum adanya kebijakan khusus di Indonesia membuat diskresi hukum terhadap kelompok transgender. Seperti halnya kasus LL di atas, kejadian serupa sering dialami oleh transgender lain di Indonesia. Beruntung LL telah legal atas status gendernya yang telah berubah.

Dikutip dari BBC Indonesia, Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia, Yulianus Rettoblaut, mengatakan mayoritas transgender, khususnya transpuan mengalami pelecehan baik verbal, fisik, maupun seksual saat menjalani proses hukum, mulai dari penyidikan hingga menjalani hukuman di penjara.

Masih dalam artikel yang sama, Ketua Sanggar Waria Remaja (Swara), Khanza Vina, mencontohkan tindakan diskriminatif yang menimpa seorang transpuan saat proses penyidikan kejahatan pornografi.

Aku memang tidak membenarkan perilaku mengganti status kelamin tersebut, karena berlandaskan dari agama yang ku percaya. Aku pun percaya bahwa setiap pemberian-Nya adalah yang terbaik.

Lantas apakah sepantasnya mereka diperlakukan demikian? Ingatlah, seorang transgender juga manusia yang layak diberi kesempatan untuk hidup berdampingan dengan kita semua. Mereka sepantasnya diperlakukan dengan akhlak.

Tulisan ini telah dimuat di qureta.com