Kala Cantik Berstandar Nasional



Ilustrasi oleh Pexels
 “Wah, cantik ya wanita itu. Kayak bintang film.”

Percakapan itu mungkin pernah kita alami ketika kumpul bersama teman-teman, atau mungkin sering terlintas di pikiran ketika melihat perempuan. Begitu pun dengan perempuan yang sering kali menggelinjang tatkala melihat ‘oppa’ di drama Korea. Lantas kenapa sih kita membandingkan kecantikan atau ketampanan dengan menggunakan standar industri media?

Pada dasarnya media mengkonstruksi kecantikan sesuai standar mereka, misal berkulit putih mulus, berhidung mancung, pipi tirus, tinggi semampai, dan lain sebagainya. Begitu pun terhadap pria, seringkali media mengidealkan gambaran pria dengan tubuh yang berotot, berkulit putih, tinggi, dan sebagainya. Oleh sebab itu, industri perfilman seringkali mencari pemeran yang memiliki kriteria di atas. Orang yang tidak mempunyai rupa seperti standar tersebut, memang dapat perannya, namun seringkali sebagai bahan olokan.

Tayangan televisi menyajikan kehidupan pesohor yang glamor dengan segala macam perawatan tubuhnya. Terkadang dibuatkan khusus satu segmen mengenai gaya merawat tubuh ala selebritas yang harganya tentu cukup untuk hidupku selama satu bulan bahkan setahun. Sinetron yang disuguhkan pun berlatar belakang kehidupan kota dengan rupa penuh polesan bahkan ketika bangun tidur. Seringkali orang miskin yang digambarkan di sinetron punya rupa ‘ideal’ yang tentu berbanding terbalik jika melihat realita.

Perilaku pesohor tersebut tidak jarang menjadi panutan bagi sebagian masyarakat yang mengonsumsinya. Semua berlomba-lomba meniru rupa yang mereka lihat di layar kaca. Akibatnya, media tidak lagi menyuguhkan tayangan untuk kemaslahatan ‘manusia’, tetapi justru kepentingan pemilik modal. Kalau kata Abdullah Sumrahadi, tubuh yang seharusnya menjadi sarana manusiawi yang etis, malah berubah jadi barang konsumsi industri yang fetis, hedonis, dikomudifikasikan, dipuja, dan dielu-elukan.

Efek sampingnya, penonton dibuat cemas apabila belum memiliki bentuk tubuh ideal media. Berbagai upaya mereka tempuh demi pemenuhan hasrat dan pengakuan dari masyarakat akan keidealan tubuhnya. Mulai dari cara yang sehat, aneh, menyakitkan, bahkan menggunakan jalan pintas dengan bantuan plastik. Bahkan, pada 2018 pertumbuhan industri kosmetiknasional naik 20% atau empat kali lipat dari tahun sebelumnya.

Maka jangan heran ada orang-orang yang mengatakan takut menjadi gemuk hanya karena makan sedikit, apalagi melihat tubuhnya memang sudah ramping. Namun, rasa insecure tetap ada. Istilahnya, body dissatisfication kondisi di mana seseorang mempunyai citra negatif terhadap tubuhnya sendiri.

Tetapi, berbicara mengenai efek media kepada masyarakat ada sebuah teori klasik yang mungkin relevan dengan pembahasan ini, yaitu kultivasi media. Sebuah teori dari George Gebner yang dulu kupelajari di bangku kuliah.

Pada intinya sih, media massa menanamkan sikap-sikap serta nilai yang tersaji dalam suatu budaya melalui komunikasi satu arah bukan komunikasi dua arah. Sehingga penonton terus mengonsumsi apa-apa yang disuguhkan televisi, kemudian terbentuklah budaya bagi pemirsanya.

Budaya yang dimaksud tadi mengubah persepsi masyarakat akan tubuh mereka sendiri. Bukan gambaran tubuh sehat yang mereka dapatkan  di televisi, melainkan tubuh yang ideal bentukan pemilik modal atau penayang iklan. Paparan inilah yang aku khawatirkan berdampak besar bagi mereka yang tidak memilikinya.

Lantas apakah media baru demikian? Sama saja. Media baru pun merepresentasikan kecantikan atau ketampanan mengikuti media pendahulunya. Buktinya, akun-akun berembel ‘mahasiswi cantik’ disukai warganet, puluhan ribu akun mengikutinya. Motif pengikutnya pun bermacam-macan, entah sebagai pembanding diri, menambah pengikuti, atau sebagai pemuas nafsu birahi. Sayangnya, ratusan ‘mahasiswi cantik’ yang diunggah, sebagian ada yang tidak memiliki izin dari yang punya tubuh. Yah, media sosial memang penuh akan kerentanan seperti itu.

Cantik versi media mempengaruhi industri kecantikan

Bukan rahasia umum jika harga peralatan kecantikan terkadang lebih mahal daripada jumlah kebutuhan makan dalam sebulan, paling tidak untuk ukuranku. Untuk menjadi cantik ala bintang sinetron membutuhkan berbagai macam set alat make up. Selain alat kecantikan mandiri, ada pula sederet perawatan yang harus dilakukan ke salon.

Harga untuk satu kali perawatan pun bukan main, dalam sebuah artikel kisaran harga yang ditawarkan mulai dari 90 ribu hingga jutaan rupiah. Ditambah pelbagai tayangan yang khusus meliput sang idola ketika membeberkan rahasia awet mudanya. Buatku menyeritkan dahi dan menggelengkan kepala.

Kedua industri tersebut membuat simbiosis mutualisme dengan menyajikan cantik ala idola memakai produk milik pengusaha. Mereka jelas menentang seseorang yang percaya akan inner beauty. Tentu, jika sebagian mereka percaya akan kecantikan dari dalam, keuntungannya akan merosot tajam.

Jadi, daripada pusing memikirkan bentuk tubuh ‘ideal’, mendingan kita berpikir bagaimana caranya hidup sehat. Toh dengan hidup sehat, tubuh akan mengidealkan dirinya sendiri.  Makanya aku cukup salut kepada pesohor Tara Basro yang beberapa waktu lalu mengkampanyekan body positivity melalui media sosialnya.

Namun lucunya, otoritas negeri ini tidak senang akan hal tersebut. Rupanya mereka menuduh Tara Basro cabul karena mengunggah tubuhnya. Ah, mungkin mereka hanya tidak mau industri kosmetik hancur karena tingkat percaya diri masyarakat meningkat.