|
“Wah, cantik ya
wanita itu. Kayak bintang film.”
Percakapan itu mungkin pernah
kita alami ketika kumpul bersama teman-teman, atau mungkin sering terlintas di
pikiran ketika melihat perempuan. Begitu pun dengan perempuan yang sering kali
menggelinjang tatkala melihat ‘oppa’ di drama Korea. Lantas kenapa sih kita
membandingkan kecantikan atau ketampanan dengan menggunakan standar industri
media?
Pada dasarnya media
mengkonstruksi kecantikan sesuai standar mereka, misal berkulit putih mulus,
berhidung mancung, pipi tirus, tinggi semampai, dan lain sebagainya. Begitu pun
terhadap pria, seringkali media mengidealkan gambaran pria dengan tubuh yang
berotot, berkulit putih, tinggi, dan sebagainya. Oleh sebab itu, industri
perfilman seringkali mencari pemeran yang memiliki kriteria di atas. Orang yang
tidak mempunyai rupa seperti standar tersebut, memang dapat perannya, namun
seringkali sebagai bahan olokan.
Tayangan televisi menyajikan
kehidupan pesohor yang glamor dengan segala macam perawatan tubuhnya. Terkadang
dibuatkan khusus satu segmen mengenai gaya merawat tubuh ala selebritas yang
harganya tentu cukup untuk hidupku selama satu bulan bahkan setahun. Sinetron
yang disuguhkan pun berlatar belakang kehidupan kota dengan rupa penuh polesan
bahkan ketika bangun tidur. Seringkali orang miskin yang digambarkan di
sinetron punya rupa ‘ideal’ yang tentu berbanding terbalik jika melihat
realita.
Perilaku pesohor tersebut
tidak jarang menjadi panutan bagi sebagian masyarakat yang mengonsumsinya.
Semua berlomba-lomba meniru rupa yang mereka lihat di layar kaca. Akibatnya,
media tidak lagi menyuguhkan tayangan untuk kemaslahatan ‘manusia’, tetapi
justru kepentingan pemilik modal. Kalau kata Abdullah Sumrahadi, tubuh yang
seharusnya menjadi sarana manusiawi yang etis, malah berubah jadi barang
konsumsi industri yang fetis, hedonis, dikomudifikasikan, dipuja, dan
dielu-elukan.
Efek sampingnya, penonton
dibuat cemas apabila belum memiliki bentuk tubuh ideal media. Berbagai upaya
mereka tempuh demi pemenuhan hasrat dan pengakuan dari masyarakat akan
keidealan tubuhnya. Mulai dari cara yang sehat, aneh, menyakitkan, bahkan
menggunakan jalan pintas dengan bantuan plastik. Bahkan, pada 2018 pertumbuhan industri kosmetiknasional naik 20% atau empat kali lipat dari tahun sebelumnya.
Maka jangan heran ada
orang-orang yang mengatakan takut menjadi gemuk hanya karena makan sedikit,
apalagi melihat tubuhnya memang sudah ramping. Namun, rasa insecure tetap
ada. Istilahnya, body dissatisfication kondisi di mana
seseorang mempunyai citra negatif terhadap tubuhnya sendiri.
Tetapi, berbicara mengenai
efek media kepada masyarakat ada sebuah teori klasik yang mungkin relevan
dengan pembahasan ini, yaitu kultivasi media. Sebuah teori dari George Gebner
yang dulu kupelajari di bangku kuliah.
Pada intinya sih, media massa
menanamkan sikap-sikap serta nilai yang tersaji dalam suatu budaya melalui
komunikasi satu arah bukan komunikasi dua arah. Sehingga penonton terus
mengonsumsi apa-apa yang disuguhkan televisi, kemudian terbentuklah budaya bagi
pemirsanya.
Budaya yang dimaksud tadi
mengubah persepsi masyarakat akan tubuh mereka sendiri. Bukan gambaran tubuh
sehat yang mereka dapatkan di televisi, melainkan tubuh yang ideal
bentukan pemilik modal atau penayang iklan. Paparan inilah yang aku khawatirkan
berdampak besar bagi mereka yang tidak memilikinya.
Lantas apakah media baru
demikian? Sama saja. Media baru pun merepresentasikan kecantikan atau
ketampanan mengikuti media pendahulunya. Buktinya, akun-akun berembel
‘mahasiswi cantik’ disukai warganet, puluhan ribu akun mengikutinya. Motif
pengikutnya pun bermacam-macan, entah sebagai pembanding diri, menambah
pengikuti, atau sebagai pemuas nafsu birahi. Sayangnya, ratusan ‘mahasiswi
cantik’ yang diunggah, sebagian ada yang tidak memiliki izin dari yang punya
tubuh. Yah, media sosial memang penuh akan kerentanan seperti itu.
Cantik versi media
mempengaruhi industri kecantikan
Bukan rahasia umum jika harga
peralatan kecantikan terkadang lebih mahal daripada jumlah kebutuhan makan
dalam sebulan, paling tidak untuk ukuranku. Untuk menjadi cantik ala bintang
sinetron membutuhkan berbagai macam set alat make up. Selain alat
kecantikan mandiri, ada pula sederet perawatan yang harus dilakukan ke salon.
Harga untuk satu kali
perawatan pun bukan main, dalam sebuah
artikel kisaran harga yang ditawarkan mulai dari
90 ribu hingga jutaan rupiah. Ditambah pelbagai tayangan yang khusus meliput
sang idola ketika membeberkan rahasia awet mudanya. Buatku menyeritkan dahi dan
menggelengkan kepala.
Kedua industri tersebut
membuat simbiosis mutualisme dengan menyajikan cantik ala idola memakai produk
milik pengusaha. Mereka jelas menentang seseorang yang percaya akan inner
beauty. Tentu, jika sebagian mereka percaya akan kecantikan dari dalam,
keuntungannya akan merosot tajam.
Jadi, daripada pusing
memikirkan bentuk tubuh ‘ideal’, mendingan kita berpikir bagaimana caranya
hidup sehat. Toh dengan hidup sehat, tubuh akan mengidealkan dirinya
sendiri. Makanya aku cukup salut kepada pesohor Tara Basro yang beberapa
waktu lalu mengkampanyekan body positivity melalui media
sosialnya.
Namun lucunya, otoritas
negeri ini tidak senang akan hal tersebut. Rupanya mereka menuduh Tara Basro
cabul karena mengunggah tubuhnya. Ah, mungkin mereka hanya tidak mau industri
kosmetik hancur karena tingkat percaya diri masyarakat meningkat.