Dia Hami, Namun Oleh Siapa?

Ilustrasi oleh Pixabay
Teringat akan suatu pertemuan kala itu. Aku melihatnya duduk sendiri di sudut sana, tampak asyik memandang sekitar. Lalu ku hampiri ia, coba tuk menyapa. Sayang responnya tidak begitu baik, hanya di jawab sekenanya, aku tidak mengerti. Ah, mungkin karena baru kenal.

Esok hari ku temukan lagi ia di sana. Masih di tempat yang sama, waktu yang sama, sendiri lagi. Ku amati ia memang gemar menikmati suasana dengan menyapu pandangannya ke kanan dan atau ke kiri. Sungguh tidak ku mengerti perilakunya itu. Sungkan pula diriku tuk bertanya.

Ajaibnya, kini ia yang datang menghampiriku. Mungkin instingnya berkata ada seorang yang mengamati dari kejauhan. Melihatnya datang, ku sambut saja sekenanya. Membalas perilaku ia kemarin. Enak saja.

Hari demi hari kita melakukan hal yang sama, saling bertegur sapa. Aku menikmati momen-momen tersebut. Tampak perasaan sayang mulai muncul terhadapnya. Ingin rasanya memiliki, tetapi apakah ia sudah ada yang punya? Aku ragu ia akan menjawabnya, habis ia terlihat agak tertutup sih.

Pada siang hari di mana sinar matahari cukup untuk membakar daun kering, ia tidak muncul di tempat biasa. Ada apa gerangan? Apakah ia sakit atau sudah malas menemuiku? Aku pun khawatir terjadi sesuatu kepadanya. Ternyata benar kata seseorang di luar sana, rindu itu berat. Hari itu pun ku lalui dengan penuh kekecewaan.

Lusa berlalu, akhirnya ia berada di tempat yang biasa. Namun, kali ini ia sedang duduk termenung. Mungkinkah ia sedang lelah atau ada sesuatu yang dipikirkan? Ku hampiri dirinya dan ia langsung sigap menyambutku. Hei, ku rasa ia baik-baik saja. Tidak ku tanyakan alasannya absen kemarin, kehadirannya kini lebih penting.

Dengan membawakan sebuah hadiah untuknya, hari ini aku ingin menyatakan bahwa aku ingin memiliki ia seutuhnya. Aku pun berlutut menghadapnya seraya ku serahkan benda itu. Tidak ada penolakkan darinya, yes. Mulai hari ini engkau milikku.

Hari-hari selanjutnya amat menyenangkan. Kami sering kali bermain, bercanda, dan satu yang ku ketahui setelah itu, ia amatlah manja. Tak terlalu masalah sih buatku. Justru manjanya itulah yang membuatku semakin sayang.

Suatu hari, nampak ada yang ganjil dari perilakunya. Perubahan yang paling terasa ialah nafsu makannya yang mulai berkurang. Biasanya satu piring ia dapat habiskan, kali ini hanya setengahnya. Aku tanya mengapa, namun ia tak menjawabnya. Firasatku ada yang tidak beres dan coba ditutupinya.

Ah, mungkin memang sedang tidak nafsu makan barangkali, pikirku coba positif. Aku tidak ingin berpikir yang macam-macam dan menuduhnya yang aneh-aneh. Takut hubungan ini menjadi tidak baik nantinya. Aku hanya berdoa semoga ia baik-baik saja.

Lama-lama ada yang ganjil dari perutnya. Ya, perutnya tampak membesar. Tanda bahwa ia telah hamil. Bak petir di siang bolong, diriku coba menerka-nerka perbuatan siapa itu? Aku? Tidak mungkin. Apa ia telah diperkosa? Ah, pikiranku kacau.

Dia pun menghampiriku. Dari pergerakkan mulutnya, ia mungkin coba menjelaskan. Namun, aku tidak sanggup mendengarnya. Tetapi raut mukanya terlihat biasa saja, apakah ia senakal itu? Tak sampai hati aku memakinya. Lantas ia ku tinggalkan seorang diri.

Beberapa waktu telah berlalu. Aku telah mencampakkan dirinya. Ya, dia yang selama ini telah mengisi hari-hari indahku. Semakin ingin melupakannya, semakin melekat pula bayangnya di kepalaku.

Apakah keputusanku untuk mencampakkannya tepat? Sejauh yang ku tahu, ia memang sebatang kara, tidak punya siapa-siapa lagi di kota ini. Aku pun bertekad, mulai esok akan ku temui dirinya dan coba untuk menerima keadaan ini.

Esoknya, di tempat pertemuan kami pertama kali ia berada. Masih dengan perutnya yang kian membesar itu dia pun menyambutku hangat dan menghampiri. Ku tanyakan perihal kehamilannya, tapi ia membisu. Hanya senyuman yang keluar dan matanya terpejam. Entahlah apa artinya.

Sejauh yang ku ketahui, menurut perhitungan kehamilan kira-kira esok atau lusa ia akan melahirkan. Antara bahagia atau harus sedih mengetahuinya. Namun, ku doakan saja yang terbaik untuk semuanya. Karena setiap makhluk yang terlahir ke dunia, patut mendapatkan kasih sayang tanpa harus diketahui statusnya. Selesai.

Cerita pendek ini didedikasikan untuk kucingku yang telah melahirkan kedua anaknya. Yah, meskipun ia mungkin tidak akan pernah membacanya sih. Kucing itu bernama Ameng, karena kalau dipanggil demikian ia menoleh. Ditemukan kala usianya sekitar 3-4 bulan di sudut halaman rumah. Sebatang kara yang entah bagaimana bisa datang ke rumah.

Tidak tahu siapa yang telah menghamilinya, namun kecurigaanku menguat kepada kucing oren yang sering singgah di depan rumah kala Ameng tengah memasuki masa birahi. Atau kucing putih yang sering mangkal di atas pagar dan kerap mengeong minta makan.

Tulisan telah dimuat di qureta.com

Komentar