Ilustrasi oleh Wokandapix |
Dekade lalu perkembangan teknologi
komunikasi meningkat amat pesat. Berbagai macam model dan merk gawai silih
berganti menguasai pasar. Tidak hanya itu, jaringan internet pun tumbuh dari
sinyal 2G hingga 5G. Masih teringat kala mendapat sinyal Edge saja sudah
senang. Sekarang? Amat malang apabila hanya dapat sinyal tersebut.
Hal-hal
besar itu membawa perubahan pula pada arus informasi dan kecepatan berkomunikasi.
Jika dahulu berita datang pada pagi hari oleh seorang loper koran, kini berita hadir
bahkan sebelum kita mencelikkan mata. Kantor pos pun mulai kehilangan
pelanggannya untuk berkirim surat, bahkan gerai pulsa pun yang sempat populer
di awal dekade 2010 kian surut pelanggan.
Sedikit melirik teknologi berkirim pesan
pada awal dekade 2010, Short Messages Service (SMS) masih populer dengan
berbagai macam promonya, salah satunya adalah tarif per karakter SMS. Adanya promo
tersebut melahirkan gaya berkomunikasi baru yang kini lebih dikenal dengan
bahasa alay, tetapi percayalah dulu bahasa tersebut amat lazim ditemui. Namun,
bahasa yang menekankan penghematan kata itu sering menimbulkan miskomunikasi
karena belum adanya kesepakatan umum yang menjadi pijakan tentang penggunaan
bahasa alay. Terlebih bila dikombinasikan dengan huruf kapital yang diletakkan di
sembarang tempat, keren memang, tetapi pada zamannya.
Awal dekade itu pun merupakan masa
keemasan platform media baru bernama Facebook. Aku rasa semua warganet pasti
pernah menulis status atau paling tidak membuat akun di sana. Ruang virtual itu
memang banyak memberikan warna pada era media sosial. Tidak sedikit cerita
mengenai seseorang yang telah lama tidak berjumpa akhirnya dapat berkomunikasi
kembali dengan sahabat lamanya. Media baru tersebut mempunyai daya magisnya
tersendiri dan tidak jarang melahirkan sejumlah bahasa baru akibat dari intensitas
berinteraksi di ruang siber.
Salah satu yang membuat Indonesia memiliki ciri
khas yang unik dari warganet negara lain adalah ‘wkwk’. Aku pun tidak begitu mengetahui mengapa
dan siapa pencetus ketawa daring ‘wkwk’, yang jelas kata itu hadir akibat
bentuk komunikasi Computer-Mediated Communication. Pada kenyataannya
adakah seseorang yang tertawa dengan suara ‘wek wek wek’? Bebek mungkin, atau
memang tertawa itu terinspirasi oleh hewan tertib itu? Hebatnya, di kalangan
warganet internasional, cakapan itu sangat identik dengan Indonesia, sampai warganet
memberi julukan ‘wkwk Land’.
Dalam praktik kesehariannya, cakapan ‘wkwk’
digunakan dalam berbagai kondisi. Tidak hanya untuk menggantikan bentuk tertawa
daring saja. Sebuah ‘wkwk’ di akhir kalimat dapat menunjukkan bahwa pesan yang
disampaikan pengirim pesan merupakan lelucon atau tidak serius. Lalu,
penggunaan ‘wkwk’ tanpa disertai kalimat lain juga dapat berarti percakapan ini
harus diakhiri, namun pengirim merasa bingung ataupun tidak enak hati mengakhirinya.
Makna ini galibnya digunakan oleh perempuan kepada laki-laki.
Dalam kajian bahasa, hal seperti itu
dinamakan bahasa fungsional. Bahasa yang diberi arti secara bebas dan
disepakati bersama. Tidak ada aturan baku dan logis yang mengikat bahasa dalam
segi fungsional. Sehingga, bahasa fungsional akan terus berkembang dan
memunculkan ragam cakapan baru setiap harinya seiring dengan intensitas berkomunikasi.
Apalagi, saat ini dunia sedang berada dalam kondisi pandemik yang tidak memungkinkan
untuk bertatap muka. Komunikasi tatap layar pun digaungkan oleh otoritas demi
menghindari masifnya penyebaran virus.
Jadi, sudahkah kamu tertawa daring hari
ini?