Ikon Kota Jakarta
Dok. Pribadi
|
Diawali dari perasaan tersebut, maka akal ini berfikir kira-kira di mana tempatku mengerjakan tugas terakhir sebagai mahasiswa. Diputuskan, bagaimana jika ke perpustakaan nasional. Perpustakaan yang katanya tertinggi di dunia dengan 24 lantainya tersebut cukup menarik. Oke, berangkat pagi-pagi supaya tak malas. Dasar mahasiswa, semakin siang, semakin besar daya tarik kasur kepada tubuh.
Berangkat pagi pun bukan tanpa risiko. Aku harus berjubel dikerumunan orang-orang yang hendak pergi bekerja. Tentu, karena transportasi yang kupilih merupakan angkutan massal paling favorit se-Jabodetabek, KRL. Murah dekat rumah.
Beruntungnya, jalur dari rumah ke perpusnas hanya satu kali transit. Jadi, tidak parah-parah amat lah. Setelah sampai stasiun Sudirman, lanjut menggunakan Transjakarta jurusan Bunderan Senayan-Harmoni. Lalu, turun di halte Bank Indonesia.
Bila dipikir-pikir, asyik juga melihat warga ibu kota kini. Semua berlomba untuk tertib. Meski tidak dipungkiri ada yang masih bandel, tetapi sudah banyak kemajuan dibanding dahulu di masa kejayaan Metromini dan Kopaja.
Sampai di perpusnas, ku letakkan jaket dan tas di loker yang telah disediakan, sementara hanya laptop dan piranti kecil lainnya yang dibawa ke atas. Tempat favoritku sih di lantai 19, karena ada spot lesehan yang nyaman. Namun, sekali-kali ke lantai paling atas boleh juga. Melihat tata ruang kota Jakarta dari ketinggian lantai 24 terasa mengasyikkan. Terpaan angin yang cukup kencang membuatku sering membetulkan gaya rambut. Menyebalkan sekali punya rambut panjang yang tertiup angin, tetapi lebih tidak menyenangkan bila rambut tidak ada, malu.
Aku berdiri di sisi sebelah kiri gedung dari arah pintu masuk setelah lift. Sisi yang berhadapan langsung dengan ikon kota Jakarta, monumen nasional. TIdak berpikir panjang lalu ku keluarkan handphone dan jepret ke arahnya. Begitulah ceritanya.
Ini merupakan tulisan pertama dari Di Balik Foto. Selamat menikmati
Ini merupakan tulisan pertama dari Di Balik Foto. Selamat menikmati