Karyalah Selalu, Mekarlah Desaku

Kolase Keriaan KKN
Dok. Pribadi


Awalnya Meragukan KKN Reguler

“Mudah-mudahan dapat tempat KKN di Bogor,” “Kira-kira teman-temanku seperti apa ya sifatnya?” 

“Bagaimana kalau berat badanku naik nanti ketika KKN.” Seperti itulah segelintir isi pikiran yang tertuang melalui lisan teman-temanku setelah menyelesaikan kuliah di semester enam. Ada proses yang harus dilalui oleh mahasiswa, yaitu pengabdian. Salah satu bentuk pengabdiannya adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Lalu, bagaimana denganku? Apa yang aku pikirkan ketika teman-temanku berkata demikian? Apalagi tersiar kabar dari pendahulu, bahwa KKN ini tidak sedikit menguras dompet.

“Sepertinya aku lebih baik KKN di kampus, dekat dengan rumah dan tidak perlu mengeluarkan uang.” Begitu pikirku. Ajaibnya, ada salah satu unit bagian di UIN Jakarta yang menawari diriku untuk KKN saja di sana.

Waktu pun berlalu sangat cepat. Ketika itu aku sedang makan bakso bersama teman-temanku, datang pesan dari grup media sosial bahwa pengumuman nama kelompok KKN untuk tahun 2018 sudah keluar. Karena penasaran, maka kegiatan makan-makan pun terhenti lalu fokus mencari nama sendiri di pengumuman itu. Jreng. Namaku bersembunyi di dalam kelompok nomor 106 bersama 18 nama lain dari berbagai fakultas. Di antara nomor NIM, ada yang ganjil. Ketika di angkatan 2015 memiliki 14 digit nomor NIM, ada satu mahasiswa yang hanya memiliki 13 digit. Terlebih lagi, orang itu memiliki NIM dari angkatan 13, yang artinya dia adalah senior. “Mungkin salah ketik,” kataku waktu itu, dan yang terpenting nomor kelompok di atas 100 berarti dapat lokasi KKN di Kabupaten Bogor. Setelah itu kami melanjutkan memakan bakso lagi sampai habis.

Segera aku mencari informasi ke Pusat Pengabdian kepada Masyarakat terkait KKN di kampus. Berbeda dengan KKN Reguler, ternyata waktu pelaksanaannya berbeda. Jika reguler hanya satu bulan, maka KKN di kampus memakan waktu tiga bulan dan bisa lebih cepat atau pun lebih lambat dari tanggal pelepasan KKN, 20 Juli 2018. Lalu, untuk tempatnya pun diacak, sesuai kebutuhan unit bagian di kampus. Tetapi, jika memiliki rekomendasi dari suatu unit bagian tertentu maka akan ditempatkan sesuai rekomendasi tersebut. Ribet. Hal itu membuatku agak bimbang sedikit dan mengulur waktu untuk meminta rekomendasi dari unit bagian yang sempat menawariku KKN di sana. “Cek ombak dulu deh dengan yang reguler, siapa tahu ada wanita yang cantik,” gumamku.

Ting tong. Ting tong. Ting tong.

Begitu kira-kira bunyi pada sebuah aplikasi populer ketika ada sebuah pesan yang masuk. Pesan yang menyiratkan bahwa percakapan grup kelompok 106 telah terbentuk, tepat pada tanggal 10 April 2018. Hal pertama yang aku lakukan adalah menekan tombol sunyi untuk grup itu. Berisik. Buka grupnya nanti saja kalau sudah tatap muka. Kutebak isinya paling perkenalan, kenal orang ini tidak, dan merencanakan kapan akan kopi darat. Biar mereka saja yang mengurusnya, karena di dalam hatiku pun masih ragu antara KKN di kampus atau ikut reguler.

Ketika sampai pada bagian ini, aku pun membuka lagi lembaran-lembaran percakapan yang dulu sempat aku lewati. Lucu juga. Mereka pun menyepakati untuk kumpul pertama di taman auditorium, dekat logo UIN yang besar itu. Entah apa yang dibicarakan, karena aku sengaja tidak ikut. Biasanya sih, pertemuan pertama itu kan membentuk struktur kepengurusan. Takutnya secara tidak sengaja terpilih menjadi ketua. Dengar-dengar dari senior yang sudah menjalani KKN sih, jadi ketua itu berat.

Tanggal 20 April adalah pertemuan lanjutan dengan harapan akan datang anggota lebih banyak dari pertemuan yang pertama. Mereka sepakat untuk kopdar di lantai tiga Student Center pukul dua siang. Pada waktu itu, bertepatan dengan kegiatanku yang lain. Sehingga aku bisa menyempatkan diri datang pada sore harinya.

“Benar tidak ya itu kelompokku?” pikirku dari kejauhan melihat segerombol mahasiswa yang membentuk formasi lingkaran kecil. Aku memfokuskan mataku yang minus ini –sengaja tidak pakai kacamata, belum waktunya. Sedikit informasi, mataku ini menderita miopia sejak SMP kelas tiga. Tetapi aku hanya menggunakan kacamata ketika duduk di belakang pada waktu kuliah, malam hari, dan berkendara ke tempat asing.

“Kelompok 106 ya?” ucapku. Mereka mengiyakan. Kulihat air muka mereka dan berpikir: jadi ini sebagian teman-temanku nanti selama KKN. Kurang lebih tiga jam perkumpulan hari itu aku lalui. Berkenalan, membentuk struktur kepengurusan, menentukan nama kelompok dan sebagainya –lupa. Pemilihan ketua pun dilakukan dengan saling tunjuk menunjuk dan saling meyakinkan seseorang supaya mau berkorban menjadi ketua –tentunya dari pihak laki-laki. Sampai akhirnya telah ditentukan ketua, yaitu Adi Hisyam Azizi dari Fakultas Dirasat Islamiyyah, sedangkan aku menjadi wakilnya. Menurut pengalamanku sih wakil itu kerjaannya paling sedikit, maka dari itu dengan senang hati aku bersedia. Untuk nama kelompok, banyak usulan yang muncul, yang kuingat; Kamelia, Bekam, Tunas Harapan, Bakti Semar, dan Karya Terus. Pemungutan suara pun dimulai. Hingga terpilih lah Bakti Semar sebagai nama kelompok kami yang mempunyai arti Bakti Seratus Enam untuk Karya Mekar.

Jadwal pertemuan pun mulai disusun, merencanakan program kerja apa saja yang akan dilakukan nanti, menentukan kapan survei ke lokasi KKN, bahkan menentukan sanksi bagi yang terlambat atau pun tidak hadir ketika rapat. Sanksi yang diberikan berupa denda sebesar lima ribu rupiah per lima menit keterlambatan. Jika tidak hadir maka dikenakan denda senilai dua puluh lima ribu rupiah. Seingatku, denda ini sukses membuat kami datang tepat waktu, setidaknya tidak terlalu molor.

Seiring dengan pertemuan yang kami lakukan, muncul sebuah ikatan yang entah disadari atau tidak terjalin dengan kuat. Hal tersebut membuatku mantap untuk memutuskan untuk ikut KKN Reguler. Meninggalkan tawaran yang sudah kuterima dulu. Ingin aku menceritakan kisah kami setiap kali rapat, betapa sulitnya menyelaraskan 19 kepala, bagaimana serunya survei lokasi, dan apa saja kegiatan untuk mencari dana tetapi rasanya akan terlalu panjang.

Selanjutnya aku akan menjelaskan sedikit siapa saja teman-temanku selama menjalani program pengabdian ini.

Teman Satu Atap

Hisyam, ketua geng nomer satu di Bakti Semar yang hobinya mengantuk bahkan ketika memimpin rapat. Laki-laki yang berasal dari Lamongan dan kuliah di jurusan Dirasat Islamiyyah ini merupakan puncak struktural kelompok Bakti Semar. Tidak suka dipanggil Bapak, tapi aku masih memanggilnya Pak.

Aliyah, soal catat mencatat tampaknya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga membuat dia menjadi sekertaris andalan kelompok ini. Paling suka berkata dirinya tambah gendut setelah makan apapun. Perempuan yang tinggal tidak jauh dari Kebun Binatang Ragunan ini menimba ilmu di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Hal yang paling dirindukan darinya adalah rendang buatan ibunya.

Dewi, anak bekasi yang memutuskan kuliah di jurusan Tarjamah tetapi tidak bisa menerjemahkan tingkah laku Sudarsono. Sekertaris dua dalam kelompok ini tinggal di dekat toko buku Batu Bara, hal itu membuatnya berinisiatif membentuk grup whatsapp kelompok 106 pertama kali.
Inas, mempunyai mata dengan minus yang cukup mengkhawatirkan tetapi soal uang matanya selalu kembali bersinar. Bendahara nomor satu di Bakti Semar ini kuliah di jurusan Ilmu Politik dan tinggal di Depok dengan keluarganya.

Rino, dia tidak menganut paham yang lurus, terbukti dengan tumbuh kembang rambutnya yang tidak beraturan. Kuliah di Fakultas Azab dan Hura-hura katanya, jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Sering dipanggil Ayah oleh anggota yang lain dan tinggal di Cipete, tapi bohong. Hobi mencegat tukang sayur membawanya sebagai bendahara dua.
Naufal, hal yang dia cari pertama kali ketika tiba di suatu tempat adalah tempat bersandar. Dia juga salah satu pendiri mazhab sesat, Nofaliyah. Senang kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris menjadikannya penggemar garis keras klub bola Persita. Posisinya di timnas Bakti Semar adalah humas.

Sudarsono, laki-laki asal madura ini punya semangat yang tiada habisnya serta selalu menambahkan kata “zzz” diakhir ucapannya. Kuliah di jurusan Perbandingan Mazhab dan sangat erat sekali kaitannya dengan urusan akhirat serta menduduki jabatan humas di kelompok ini.

Esnida, manajer di klub Bakti Semar ini pada masa praKKN paling semangat mengatur formasi tim. Hasil didikan dari jurusan Manajemen yang menetap di Pamulang. Sangat senang membaca dan menulis menjadikannya sebagai koordinator acara di Bakti Semar.

Laela, dalem. Perempuan ini selalu mendapat perhatian lebih dari pemuda Karya Mekar. Asal dari Cirebon tetapi sangat serius kuliah di jurusan Agribisnis sehingga membuat dia berada di divisi acara. Sering menjadi penengah ketika buntu dalam rapat.

Zaenal, laki-laki paling subur di Bakti Semar dan punya goyangan paling indah ketika senam mingguan. Menjadi anggota divisi acara dan kuliah di jurusan Teknik Informatika membuatnya sibuk sekali sehingga jarang datang rapat pada praKKN. Pipinya selalu menjadi bahan obrolan di kalangan wanita.

Lee, anak kecil yang tersasar sehingga menghabiskan jatah masa remajanya dengan mengikuti kuliah kerja nyata. Terdampar di jurusan Perbandingan Mazhab membuatnya selalu ingin tahu segala hal. Sangat suka kalau di foto dengan kamera membuatnya berinisiatif menjadi koordinator pubdekdok.

Nida, kalau makan porsinya paling banyak di antara wanita yang lain sehingga membuatnya belajar di jurusan Pendidikan Agama Islam. Di tempat kosannya lah kami sering mengadakan rapat praKKN. Karena berada di divisi pubdekdok membuat foto dirinya paling jarang ditemukan. Sekalinya ditemukan berada di pinggir, dan rawan terkena potong.

Vetty, perempuan paling bawel dan selalu su’uzon, serta paling tidak suka dibilang gendut. Hobinya swafoto di tempat baru menjadikannya koordinator konsumsi. Dia memutuskan belajar di jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah karena gemar belanja ke pasar Cariu.

Jayanti, salah satu wanita terakhir dari desa konoha ini kalau melihat nasi sisa di piring, jangan harap bisa pulang dengan selamat. Oleh karenanya dia berada di divisi konsumsi. Diberi amanat untuk kuliah di jurusan Pendidikan Biologi membuatnya punya suara yang merdu, apalagi jika membangunkan Abdi dan Rino. Karena tingkahnya yang aneh setelah pulang mengajar di TPQ dia dipanggil bundo.

Novita, lidahnya tajam, setajam gunting kuku Aliyah dan jika mendengar dia tertawa rasanya aku ingin tertawa juga. Suka sekali bonceng tiga kalau mau mandi membuat dia kuliah di jurusan Kimia. Divisi konsumsi merupakan jalan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

Abdi, seorang seniman ulung yang masih betah kuliah di kampus kesayangannya dan kabar mengatakan bahwa dia tidak akan bangun jika belum melek. Menimba ilmu di jurusan Aqidah dan Filsafat menginspirasinya untuk membuat lagu berjudul “Karya Mekar” yang dirilis di aula Desa Karya Mekar. Siapa yang menyangka Abdi merupakan koordinator perlengkapan. Abdi pun orang yang membuatku heran melihat NIMnya yang ganjil.

Anita, mungkin jika makanan hello panda tidak ada di dunia ini, dia pun tidak pernah ada. Gemar sekali membuat mie instan ketika malam hari membuatnya menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Hukum. Anita berada di bawah kepemimpinan Abdi kurang lebih satu bulan.

Lutfi, hidupnya didedikasikan untuk permainan Mobile Legends, dan selimut kuda poni kesayangannya. Kuliah di jurusan Ilmu Hukum tidak membuatnya berada di peringkat mythic. Divisi perlengkapan pun sudah menjadi pilihan hidupnya.

Itulah sekilas mengenai teman satu atapku selama di Karya Mekar. Ditambah satu lagi sebenarnya, yaitu Pak Suprayogi. Beliau adalah dosen pembimbing lapangan kami yang berasal dari jurusan Ilmu Perpustakaan. Berkatnya lah kami mendapat satu program kerja tambahan, yaitu penyuluhan kepustakaan yang langsung dibawakan oleh beliau sebagai narasumber. Pak Yogi pun cukup kooperatif, bersedia diajak menginap di kontrakan kami yang sederhana, dan soal nilai beliau bilang aman –itu yang kami harapkan sih.
Selanjutnya aku akan menerangkan bagaimana kondisi desa tempat aku mengabdi satu bulan. Tanpa adanya pengabdian yang diberi nama KKN ini, mungkin tulisan ini pun tidak pernah eksis.

Karya Mekar Namanya

Karya Mekar, begitulah bunyinya. Sebuah desa yang akan kuingat selalu. Betapa tidak, di sana terdapat kisah dan pengalaman yang mungkin tidak akan terulang kembali. Desa yang terletak di Kabupaten Bogor sebelah timur ini, memiliki medan berupa perbukitan. Di jalan utama, jika kalian berada di Desa Mekarwangi maka untuk ke Karya Mekar kalian akan berhadapan dengan tanjakan sepanjang jalan. Tidak heran jika pagi hari suhu di sini bisa tembus hingga 16 derajat celcius –menurut aplikasi accuweather. Desa Karya Mekar terbagi atas empat dusun dan 14 rukun tetangga. Daerah terendah yaitu dusun satu yang bersebelahan dengan Desa Mekarwangi, dan tertinggi dusun empat yang berbatasan dengan Desa Selawangi.

Aku bersama 18 orang teman-temanku yang sudah kujelaskan di atas, tinggal di satu rumah milik warga desa setempat, Pak Oman. Rumah itu kami dapatkan dengan bantuan ketua karang taruna Karya Mekar ketika kami survei praKKN. Memiliki enam petak ruangan dan teras rumah yang cukup lega menjadi pertimbangan kami ketika memutuskan menyewa rumah tersebut. Hanya saja, kamar mandinya tidak memiliki pintu dan  pembatasnya kira-kira satu meter tingginya. Tetapi hal tersebut bukan masalah bagi kami, banyak cara untuk menanggulanginya. Letak rumah kontrakan kami berada di dusun dua RT 05 tepat di sebelah Jalan Malela.

Sedikit tentang pemilik rumah kontrakan kami, yaitu Pak Oman. Pak Oman ini orangnya humoris, stok tebak-tebakannya banyak, dan selalu sukses membuat kami tertawa. Beliau juga baik hati, terbukti kami sering diberikan singkong dari kebunnya, dan lele yang besar-besar jika sedang panen, serta tidak keberatan jika kami titip sesuatu di kulkasnya. Pak Oman juga lah yang mengantar kami pulang ke Ciputat dengan selamat.

Desa Karya Mekar memiliki perbandingan penduduk lebih sedikit dibandingkan dengan luas daerahnya.  Terlihat dari sedikitnya jumlah rumah yang ada dan masih luasnya area perkebunan. Rata-rata penduduknya pun bekerja di sektor perkebunan dan pertanian. Agama yang dianut penduduk Karya Mekar mayoritas Islam. Majelis taklim dan pengajian rutin diadakan di sini, baik untuk bapak-bapak maupun ibu-ibu. Anak-anaknya pun banyak yang dimasukkan ke sekolah diniyah dan taman pengajian al-Qur’an.

Di sektor pendidikan, desa ini hanya terdapat dua sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama. Jumlah murid perkelasnya pun kurang lebih hanya dua puluh orang, baik di SD maupun SMP. Mayoritas penduduk dewasa Karya Mekar pun hanya tamatan SD dan anak mudanya rata-rata tamatan SMP. Orientasi mereka setelah lulus SMP bekerja. Jarang sekali ada yang melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Dari satu kelas akhir di SMP yang ada di sana, paling hanya lima orang yang melanjutkan ke SMA/SMK. Begitu kata kepala sekolah SMP Taruna Eka Bangsa, Ibu Siska.

Berangkat dari keresahan itu pula, kami mengadakan program kerja berupa pemberian motivasi agar anak-anak di sana semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tidak berhenti sampai di tingkat menengah pertama apalagi tingkat dasar saja. Sasaran kami tentunya para siswa-siswi tingkat akhir yaitu kelas enam dan kelas sembilan. Pemberian motivasi itu pun berupa seminar yang diadakan di aula desa.

Ada hal yang kuingat ketika aku pertama kali datang ke SMP Taruna Eka Bangsa. Ketika itu aku dan kedua temanku hendak sosialisasi terkait kedatangan dan program kerja. Kami mendapat sambutan hangat oleh kepala sekolah dan guru-guru di sana. Setelah bicara panjang lebar dan ingin berpamitan, tiba-tiba seorang guru memanggil kami. Beliau menasehati kami dan berkata bahwa kami terlalu eksklusif, yang artinya kami tidak pernah sosialisasi dengan warga sekitar. Mungkin terdengar biasa saja, tapi beliau mengatakannya dengan suara yang agak lantang. Kami diam dan berusaha mengambil hikmah dari ucapannya. Mungkin benar apa yang dikatakannya. Mulai kejadian itu kami menjuluki orang tersebut dengan bapak galak. Memang tampangnya agak garang, kurus, usianya mugnkin sekitar 60 tahun, dan gigi depannya sudah hampir habis. Hobinya minum kopi dan menghisap rokok, bahkan ketika di ruang guru. Beliau bernama Pak Parlan.

Sambutan yang kami terima ketika pertama kali menginjakkan kaki di desa ini pun cukup baik. Mulai dari kepala desa, karang taruna, hingga masyarakat desa pun menerima kami dengan hangat. Lebih asik lagi, ternyata bukan dari kelompok kami saja yang KKN di desa ini, melainkan ada satu kelompok lain dari Institut Pertanian Bogor. Bedanya mereka KKN selama 40 hari dan hanya beranggotakan tujuh orang saja. Berbagai program kerja pun kami coba sinergikan dengan karang taruna setempat juga dengan tim KKN IPB. Hasilnya kami kolaborasi dalam renovasi taman baca, gotong royong, ngeliwet, pembuatan plang nama jalan, dan perayaan 17 Agustus.

Ah, kenangan yang kurasakan satu bulan mungkin tidak akan cukup apabila dilukiskan hanya dengan 2500 kata. Sengaja tidak kutuliskan bagaimana momen perpisahan kami kepada Karya Mekar. Aku takut kalian tidak menyiapkan tisu ketika membaca buku ini.

Karya lah Selalu, Mekar lah Desaku

Waktu memang kejam. Dia terlalu cepat merenggut kebahagiaan. Ingin rasanya mengulang dari awal satu bulan yang telah berlalu itu, di sebuah desa, Karya Mekar. Tetapi, hidup ini jangan terlalu banyak berandai-andai, move on. Apabila terlarut dalam lamunan, nanti ditinggal nikah sang pujaan baru tau rasa.

Pada intinya, banyak pengalaman yang bisa diambil dari KKN kali ini. Belajar hidup, adaptasi, sosialisasi, mandiri, kerja sama, saling menghargai, dan lainnya. Senang, sedih, marah, kecewa, tertawa, pokoknya segala jenis sifat sudah pernah dirasakan. Pesanku, jangan merasa jemawa bila sedang di atas, pun tidak boleh kecewa bila sedang di bawah. Hidup ini memang terombang-ambing laksana kora-kora di pasar malam Cariu.

Dengan tulisan ini aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Allah yang melalui PPM lah kami dipertemukan dalam satu ikatan KKN, terima kasih pula kepada seluruh warga Karya Mekar yang menerima dan mendukung kegiatan kami dengan ikhlas, terima kasih juga kepada dosen pembimbing kami, Pak Suprayogi atas segala dukungan dan nilainya, dan kepada seluruh teman-teman seperjuanganku di Karya Mekar, goresan yang telah kalian buat di hatiku yang kotor ini sungguh sangat bermakna.

Untukmu, desa yang penuh dengan warna warni kehidupan. Mungkin tanahmu terjal, tetapi pemandanganmu amat lah indah apabila dilihat dari Cikubang. Riuh tawa senda gurau membangkitkan jiwa-jiwa yang kelam akibat suramnya kemacetan ibukota. Akan kuingat selalu nasihat guruku. Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Karya lah selalu, mekar lah desaku.

3 September 2018





Yah itulah 1/100 kisah yang dapat kubagikan dari KKN ku tahun 2018. Ada banyak kisah yang tidak dapat diceritakan di sini karena kemalasan diri gua. Tulisan ini pun merupakan laporan akhir yang tidak sengaja gua baca ulang. Ternyata menarik juga kalau di-posting ulang di blog gua. Mumpung lagi ramai dibincangkan juga KKN di Desa Penari.